oleh Marlene Karamoy – Pengurus Yapendik GPIB
Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pernah mengungkap dosa dalam dunia pendidikan, yaitu intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan atau bullying. Formula mengatasinya sedang dicari, bersama pemda dan kementerian lain.
Ketiga dosa tersebut bisa jadi ditabur oleh pemangku kepentingan dan pihak internal pendidikan. Bukannya tak tertarik dengan karakter guru dan murid, sebagai pelakon utama dalam kegiatan belajar, tetapi ada satu pihak yang selama ini terlupakan. Mereka menjadi tenggelam dalam pembicaraan dosa-dosa itu, padahal perannya sangat penting, khususnya di sekolah swasta Kristen.
Tak semua memang, tetapi pengurus yayasan sekolah merasa turut berlumuran tiga dosa tadi.
Alasannya sederhana.
Dinamika dalam kepengurusan dari hulu ke hilir, tak lepas dari tindakan dan keputusan yang sarat dosa pertama, intoleransi. Meski tak disadari, dan tidak secara langsung bertindak intoleran, tetapi perilaku pengurus yayasan malah menjauh dari toleransi.
Bibit intoleransi ditabur oleh pengurus saat menjalankan peran dan tugasnya. Pengurus ada yang terbiasa untuk memaksakan kehendak, tidak mau mendengarkan, dan menghargai pendapat orang lain.
Perbedaan pandangan menjadi sangat tabu, meski keputusan yang diambil tidak diatur atau bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, sebagai salah satu aturan tertinggi dalam berorganisasi.
Contoh saja. Entah demi kekuasaan atau pencitraan, jabatan baru lengkap dengan honornya pun, bisa tiba-tiba muncul untuk orang lain di luar pengurus. Sebuah tindakan yang tidak pernah atau mungkin tidak boleh dilakukan di unit dan yayasan lain.
Bukan hanya demi menghindari konflik kepentingan, keterlibatan orang lain, yang kurang berkompeten, tidak banyak pengalaman, bahkan berstatus sebagai kerabat atasan pengurus, mengesankan penyalahgunaan jabatan, yang sangat kental nepotismenya. Dosa pendidikan lainnya pun tersemai, perundungan.
Bersama pelecehan seksual, perundungan sangat terkait dengan kesetaraan dan keadilan. Pola pikir yang merendahkan orang lain, merasa lebih tinggi, merasa berkuasa, dan harus dihormati, bisa menjadi salah satu pemicu perundungan dan pelecehan seksual.
Cara pandang tersebut pun tak lepas di antara pengurus yayasan pendidikan, sehingga bisa tercermin ketika mereka mengurus para guru. Misalnya, perintah-perintah tegas bernada menyuruh sebagai bos, yang harus ditaati tanpa membuka ruang untuk diskusi.
Di sisi lain, pengkritik di-bully sebagai penghalang pelayanan, yang tidak tahu dan ogah berkontribusi. Konflik antarpersonil tak terhindarkan seiring terbenturnya kepentingan.
Kesalahan di awal ternyata tak bisa diperbaiki begitu saja. Fatalitasnya sudah terlalu dalam, sehingga kesalahan-kesalahan lain datang bertubi-tubi. Tak ada yang bisa mengendalikan, bahkan oleh pengendali proses pendidikan, seperti diamanatkan AD/ART. ‘Dosa’ pun makin merah seperti kirmizi dan kain kesumba.
Apa yang bisa dilakukan?
Untuk bertobat dari ‘dosa-dosa’ pendidikan, karakter pengurus yayasan pun perlu diperhatikan. Ada publik yang menganggap penting jabatan pengurus yayasan. Jika sekolahnya kaya raya, biasanya tak sulit mencari pengurus yayasan yang tepat. Sebaliknya, pengurus sulit dicari untuk sekolah yang penuh tantangan.
Proses rekrutmen pengurus sebaiknya dilaksanakan sepenting ketika mencari sumber daya insani untuk mengisi posisi guru. Berbagai bentuk bisa diadakan sebelum menunjuk pengurus, seperti focus group discussion maupun fit and proper test terbuka.
Entah seberapa menantang situasi yang dihadapi sekolah, pengurus yayasan harus memenuhi beberapa karakter. Pengurus yayasan tidak harus berprofesi atau pernah bekerja sebagai guru dan kepala sekolah, karena kemampuan yang diperlukan sangatlah berbeda.
Guru dan kepala sekolah membutuhkan kemampuan berbicara, tampil di depan kelas, mampu mendidik, mentransfer ilmu, dan memimpin murid-muridnya.
Bisa saja ada 10-20 persen guru dalam jajaran pengurus. Tak masalah agar kepengurusan tetap relevan dengan perkembangan di lapangan. Tetapi selebihnya, pengurus yayasan haruslah diisi oleh orang-orang yang mau melayani. Sungguh-sungguh melayani. Melayani sampai dia rela, tidak ada satu pun orang, yang pernah mendengar namanya.
Mereka senang berada di balik layar, tidak suka berpanjang-panjang bicara memberi sambutan, hanya karena ingin dikenal orang dan terlihat hebat. Pengurus bisa mengurus dirinya sendiri, tak perlu diurus untuk urusan di luar pendidikan. Sebaliknya, dia sangat senang mendengar semua pihak, termasuk pengeritiknya.
Pengurus harusnya sudah selesai dengan dirinya. Ambisinya diperjuangkan untuk kemajuan sekolah semata. Dia tidak menjadikan jabatannya di yayasan, sebagai kendaraan untuk melompat ke posisi lain, atau memenuhi mimpi keinginannya sendiri.
Dia tak sudi menyediakan jabatannya untuk kendaraan pihak luar. Tidak menggunakan wewenangnya untuk menyelamatkan muka, mempromosikan, meraih pujian pribadi.
Dengan begitu, bersama para guru, sebagai pihak yang harus dilayaninya, pengurus mampu mewujudkan dunia pendidikan yang toleran, bebas perundungan, dan antipelecehan seksual.
Selamat Hari Guru Nasional 25 November 2020.
“Bangkitkan Semangat Wujudkan Merdeka Belajar”
(*)